BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam era
reformasi, banyak “mal pratik” pada tubuh birokrasi yang selama era orde baru
terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat, baik mal-praktek dalam bentuk
“korupsi, kolusi, maupun nepotisme” .KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)
merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini
terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini
sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi
manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia
yang tidak sesuai dengan good governance.
Pada kenyataan
nya Law enforcement dalam manajemen pemerintahan di Indonesia sangat diabaikan
sehingga akan sangat menjadi ancaman bagi manajemen pemerintahan dalam upaya
menata ulang manajemen pemerintahan yang sehat dan dapat meminimalisir
terjadinya birokatologi dan mal administrasi.
Sebenarnya
apakah yang menjadi landasan dasar yang dapat menjadi aacuan, pedoman, dan
referensi dalam melaksanakan manajemen pemerintahan yang baik dan sehat serta
birokrasi yang sehat adalah etika administrasi yang memiliki acuan dan pedoman
serta referensi, salah satu wujud konkrit yang tegas dalam menindaklanjuti mal
administrasi seprti contoh yang sangat sering terjadi Korupsi, melalui Law enforcement
maka semua penyelewengan akan mudah diminimalisir, Law enforcement akan mudah
terdeteksi sangat berkaitan dengan adanya akuntabilitas birokrasi dan manajemen
pemerintahan yang sedang malaksanakan revitalisasi yang memegang prinsip good
governance guna mencapai reinventing government dan menata ulang manajemen
pemrintahan indonesia kearah yang lebih sehat dan profesional.
Reiventing
government akan tercipta jika prinsip etika administrasi negara dan
karakteristik good governance menjadi acuan dan refernsi pada implementasi
manjemen pemerintahan di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Istilah maladministrasi (baca: mal-administrasi) diambil
dari bahasa Inggris ”maladministration” yang diartikan: Tata usaha buruk;
Pemerintahan buruk.
Kata
administrasi berasal dari bahasa latin ”administrare” yang berarti to mange,
devirasinya antara lain menjadi ”administratio” yang mengandung makna
bersturing atau Pemerintah.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, administrasi diartikan:
1. Usaha dan
kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara
penyelenggaraan pembinaan organisasi;
2. Usaha dan
kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan;
3.
Kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan; dan
4.
Kegiatan kantor dan tata usaha.
Dalam hukum administrasi Negara, administrasi adalah
aparatur penyelenggara dan aktivitas-aktivitas penyelenggaraan dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan, tugas-tugas, kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan
pemerintah atau negara.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, maladministrasi tidak
hanya diartikan sekedar penyimpangan terhadap hal tulis menulis, tata buku,
prosedural dan sebagainya. Namun maladministarasi diartikan lebih luas dan
mencangkup pada penyimpangan yang terjadi terhadap fungsi-fungsi pelayanan
publik atau pelayanan pemerintah yang dilakukan oleh setiap pejabat
pemerintahan. Dengan kata lain, tindakan maladministrasi pejabat pemerintah
dapat merupakan perbuatan, sikap maupun prosedur dan tidak terbatas pada
hal-hal administrasi atau tata usaha belaka.
Pengertian maladministrasi secara umum adalah perilaku yang
tidak wajar, termasuk penundaan pemberian pelayanan; tidak sopan dan kurang
peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan
penyalahgunaan kekuasaan; penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau
kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil,
intimidatif atau diskriminatif dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau
sebagian atas ketentuan undang-undang atau fakta, tidak masuk akal atau
berdasarkan tindakan yang tidak baralasan (unreasonable), tidak adil (unjust),
menekan (oppressive), improrer dan diskriminatif.
Sadjijono mengartikan maladministrasi adalah suatu tindakan
atau perilaku administrasi oleh penyelenggara administrasi negara (pejabat
publik) dalam proses pemberian pelayanan umum yang menyimpang dan bertentangan
dengan kaidah atau norma hukum yang berlaku atau melakukan penyalahgunaan
wewenang (detournement de pouvoir) yang atas tindakan tersebut menimbulkan
kerugian dan ketidakadilan bagi masyarakat, dengan kata lain melakukan
kesalahan dalam penyelenggaraan administrasi.
Didalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia, dijelaskan mengenai pengertian maladministrasi,
yaitu: ”maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian meteriil dan/atau immateriil bagi
masyarakat dan orang perseorangan”.
Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang
No. 37 Tahun 2008 tersebut, maka unsur-unsur dari pemenuhan suatu tindakan
maladministrasi adalah:
1). Perilaku atau perbuatan melawan hukum;
2). Yang
melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang
menjadi tujuan wewenang tersebut, atau termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
3).
Yang dilakukan oleh penyelenggara
Negara dan pemerintahan;
4). Yang
menimbulkan kerugian meteriil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang
perseorangan.
Dengan demikian, tindakan pejabat pubik yang dapat
dikategorikan telah memenuhi tindakan maladministrasi, adalah:
1).
Meliputi semua tindakan yang dirasakan janggal (inappropriate) karena melakukan
tidak sebagaimana mestinya;
2).
Meliputi tindakan pejabat publik yang menyimpang (deviate);
3).
Meliputi tindakan pejabat publik yang melanggar ketentuan
(irregular/illegitimate);
4).
Penyalahgunaan wewenang (abuse of power); dan
5).
Keterlambatan yang tidak perlu karena penundaan berlarut atas suatu kewajiban
pemberian pelayanan publik (undue delay).
Komisi Ombudsman Nasional memberikan indikator bentuk-bentuk
maladministrasi, antara lain: melakukan tindakan yang janggal (inappropriate),
menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan
(irregular/illegimate), penyalahgunaan wewenang (abuse of power), atau
keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) dan pelanggaran kepatutan
(equity).
Berikut
ini 20 (dua puluh) subtansi permasalahan yang menjadi kompetensi Ombudsman,
yang dapat diklasifikasikan sebagai suatu tindakan maladministrasi, yaitu:
1.
Penundaan Berlarut
Secara
berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan, sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan
menjadi tidak tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) dan
mengakibatkan tidak adanya kepastian dalam pemberian pelayanan umum.
2.
Tidak Menangani
Sama
sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib dilakukan (menjadi
kewajibannya) dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
3.
Persekongkolan
Beberapa
pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan, kecurangan,
melawan hukum dalam memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
4. Pemalsuan
Perbuatan
meniru suatu secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan
menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/atau kelompok.
5.
Diluar Kompetensi
Memutuskan sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya.
6.
Tidak Kompeten
Tidak mampu atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu.
7.
Penyalahgunaan Wewenang
Menggunakan
wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk keperluan yang tidak
sepatutnya.
8.
Bertindak Sewenang-wenang
Menggunakan
wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya
dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan.
9.
Permintaan Imbalan Uang/Korupsi
9a. Meminta imbalan
uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dilakukan (secara
cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya.
9b. Menggelapkan uang
negara, perusahaan (negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau
orang lain.
10.
Kolusi dan Nepotisme
Melakukan
tindakan tertentu untuk mengutamakan sanak famili sendiri tanpa kreteria
objektif dan tidak dapat dipertanggung jawabkan (tidak akuntable), baik dalam
memperoleh pelayanan maupun untuk dapat duduk dalam jabatan atau posisi di
lingkungan pemerintahan.
11.
Penyimpangan Prosedur
Tidak mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan
secara patut.
12.
Melalaikan Kewajiban
Tindakan
kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi
tanggungjawabnya.
13.
Bertindak Tidak Layak / Tidak Patut
Melakukan
sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat
tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya.
14.
Penggelapan Barang Bukti
Menggunakan
barang, uang dan sebagainya secara tidak sah yang merupakan alat bukti suatu
perkara.
15.
Penguasaan Tanpa Hak
Memiliki sesuatu yang bukan milik atau kepunyaannya secara
melawan hak.
16.
Bertindak Tidak Adil
Melakukan tindakan memihak, melebihi atau mengurangi dari
yang sewajarnya.
17.
Intervensi
Melakukan
campur tangan terhadap kegiatan yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya.
18.
Nyata-nyata Berpihak
Bertindak
berat sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan
ketentuan perundangan yang berlaku.
19.
Pelanggaran Undang-Undang
Melakukan
tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
20.
Perbuatan Melawan Hukum
Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku dan kepatutan.
Terhadap oknum pejabat publik yang terbukti bersalah
melakukan tindakan maladministrasi dikenakan tindakan disiplin dan/atau sanksi
administrasi (hukuman disiplin), bahkan mungkin diajukan ke Pengadilan yang
berwenang, apabila tindakan maladministrasi tersebut mengandung aspek yuridis
lain.
Faktor-faktor Penyebab Timbulnya
Mal-Administrasi
Mal-administrasi
merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara
“psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan
karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat
untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka
tindakan mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan
untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk
melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan
terjadi.
Dengan mengacu
pada konsep tadi, maka dapat ditemukan dua faktor yang menjadi penyebab
timbulnya tindakan mal-administrasi. Pertama faktor internal yaitu faktor
pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi. Kedua, faktor
eksternal, yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang yang melakukan
tindakan mal-administrasi, bisa, lemahnya peraturan perundangan, lemahnya
pelaksanaan pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan terbukanya
kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.
Faktor Internal
Faktor Internal
berupa kepribadian seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud suatu niat,
kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan
tindakan mal-administrasi. Faktor ini disebabkan oleh lemahnya mental
seseorang, dangkalnya agama dan keimanan mereka, sehingga memudahkan mereka
untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa
tindakan yang akan mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang tidak baik,
tercela, buruk baik menurut nilai-nilai sosial, maupun menurut ajaran agama
mereka. Namun karena rendahnya sikap mental mereka, dangkalnya keimanan dan
keagamaan mereka, maka manakala ada kesempatan ada niatan untuk melakukan
tindakan mal-administrasi dengan mudahnya mereka lakukan. Faktor Internal muncul
banyak pula dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain faktor kebutuhan
keluarga, kesempatan, lingkungan kerja, dan lemahnya pengawasan, dan lain
sebagainya. Jika pada diri orang tersebut mempunyai sikap mental yang tinggi,
keimanan dan keagamaan mereka juga tinggi, maka walaupun ada tuntutan kebutuhan
keluarga, kesempatan melakukan selalu ada, lingkungan kerja memungkinkan, dan
pengawasan sangat lemah, maka mereka tidak akan melakukan tindakan
mal-administrsi tadi. Karena mereka tahu dan yakin bahwa tindakan itu merupakan
suatu tindakan yang buruk, tidak baik, tercela dan bahkan merupakan suatu
tindakan yang berdosa.
Faktor Eksternal
Faktor
eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan
mal-administrasi, bisa berupa, lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol,
lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk
melakukan tindakan korupsi.
Peraturan
perundangan dimana mereka bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat
untuk diikuti dan dipatuhi oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan
kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran
bagi pegawainya untuk melakukan tindakan mal-administrasi, karena peraturannya
tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain sebagainya, maka akan
memberikan peluang ( kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan
mal-administrasi tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan
anti korupsi yaitu UU No.3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan UU No.11 Tahun 1980 tentang Pidana Suap, namun peraturan
perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi. Dalam arti
peraturan perundangan tadi masih belum banyak menjerat para pelaku korupsi. Hal
ini disebabkan karena sulitnya untuk membuktikan tindakan korupsi, sehingga
sulit untuk diproses sampai ke pengadilan. Belum lagi para pelaku korupsi yang
telah menyiasati peraturan Perundang-undangan tadi dengan menggunakan
pendekatan cost and benefit analysis ( analisis untung rugi ) dalam melakukan
tindakan korupsi. Dalam arti antara hukuman yang diberikan dengan hasil korupsi
yang dilakukan ternyata masih menguntungkan ( hasil korupsi lebih besar
daripada tuntutan atau ganjaran hukuman). Bahkan ada mekanisme banding yang
dapat menunda hukuman, bisa melakukan kasasi, grasi, yang bisa jadi prosesnya
cukup lama, sehingga memberi peluang bagi pelaku korupsi untuk menyiasati hasil
korupsinya.
Lemahnya
lembaga pengawasan (control) dalam melaksanakan tugasnya juga merupakan salah
satu penyebab munculnya tindakan mal-administrasi. Kendatipun lembaga
pengawasan baik pengawasan politik,maupun pengawasan fungsional telah dibentuk,
seperti DPR(D), BPK, BPKP, Irjen, Irwilprop, Irwilkab, Irwikod, dan bahkan
waskat, serta wasmas telah dibentuk dan berjalan, namun para pelaku dari
lembaga tersebut masih dengan mudah untuk diatur, masih mau disuap, disogok,
dan sejenisnya, maka lembaga pengawasan ( control ) yang ada juga tidak akan
mampu untuk melakukan pencegahan timbulnya tindakan mal-administrasi yang ada dalam
tubuh birokrasi publik.
Lingkungan
kerja, juga merupakan faktor penting untuk memberi peluang munculnya suatu
tindakan mal-administrasi. Lingkungan dimana kita berada akan mempengaruhi
sifat dan perilaku kita. Bila kita berada pada lingkungan keras, akan membentuk
sifat dan perilaku kita juga cenderung keras. Demikian pula bila kita berada
pada lingkungan agamis, juga akan membentuk sifat dan perilaku kita cenderung
agamis kita. Lingkungan kerja dimana kita bekerja yang menilai bahwa suatu
tindakan yang menyimpang ( korupsi misalnya) di anggap sesuatu yang wajar, maka
akan membentuk dan memberi peluang perilaku yang menyimpang dari etika
administrasi juga. Sebaliknya manakala lingkungan kerja cukup ketat, bahwa
tindakan yang menyimpang (korupsi) dinilai sebagai suatu tindakan yang tidak
baik,buruk, dan tercela juga maka juga akan membentuk sikap, perilaku untuk
tidak korup dan tidak akan memberi peluang munculnya tindakan yang korup.
No comments:
Post a Comment