Wednesday 11 April 2018

Makalah hukum administrasi negara tentang maladministrasi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam era reformasi, banyak “mal pratik” pada tubuh birokrasi yang selama era orde baru terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat, baik mal-praktek dalam bentuk “korupsi, kolusi, maupun nepotisme” .KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance.
Pada kenyataan nya Law enforcement dalam manajemen pemerintahan di Indonesia sangat diabaikan sehingga akan sangat menjadi ancaman bagi manajemen pemerintahan dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan yang sehat dan dapat meminimalisir terjadinya birokatologi dan mal administrasi.
Sebenarnya apakah yang menjadi landasan dasar yang dapat menjadi aacuan, pedoman, dan referensi dalam melaksanakan manajemen pemerintahan yang baik dan sehat serta birokrasi yang sehat adalah etika administrasi yang memiliki acuan dan pedoman serta referensi, salah satu wujud konkrit yang tegas dalam menindaklanjuti mal administrasi seprti contoh yang sangat sering terjadi Korupsi, melalui Law enforcement maka semua penyelewengan akan mudah diminimalisir, Law enforcement akan mudah terdeteksi sangat berkaitan dengan adanya akuntabilitas birokrasi dan manajemen pemerintahan yang sedang malaksanakan revitalisasi yang memegang prinsip good governance guna mencapai reinventing government dan menata ulang manajemen pemrintahan indonesia kearah yang lebih sehat dan profesional.
Reiventing government akan tercipta jika prinsip etika administrasi negara dan karakteristik good governance menjadi acuan dan refernsi pada implementasi manjemen pemerintahan di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah

Istilah maladministrasi (baca: mal-administrasi) diambil dari bahasa Inggris ”maladministration” yang diartikan: Tata usaha buruk; Pemerintahan buruk. 
Kata administrasi berasal dari bahasa latin ”administrare” yang berarti to mange, devirasinya antara lain menjadi ”administratio” yang mengandung makna bersturing atau Pemerintah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, administrasi diartikan: 
1.         Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi; 
2.         Usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan;
3.         Kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan; dan
4.         Kegiatan kantor dan tata usaha.

Dalam hukum administrasi Negara, administrasi adalah aparatur penyelenggara dan aktivitas-aktivitas penyelenggaraan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan, tugas-tugas, kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan pemerintah atau negara.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, maladministrasi tidak hanya diartikan sekedar penyimpangan terhadap hal tulis menulis, tata buku, prosedural dan sebagainya. Namun maladministarasi diartikan lebih luas dan mencangkup pada penyimpangan yang terjadi terhadap fungsi-fungsi pelayanan publik atau pelayanan pemerintah yang dilakukan oleh setiap pejabat pemerintahan. Dengan kata lain, tindakan maladministrasi pejabat pemerintah dapat merupakan perbuatan, sikap maupun prosedur dan tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata usaha belaka.

Pengertian maladministrasi secara umum adalah perilaku yang tidak wajar, termasuk penundaan pemberian pelayanan; tidak sopan dan kurang peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan; penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang atau fakta, tidak masuk akal atau berdasarkan tindakan yang tidak baralasan (unreasonable), tidak adil (unjust), menekan (oppressive), improrer dan diskriminatif. 

Sadjijono mengartikan maladministrasi adalah suatu tindakan atau perilaku administrasi oleh penyelenggara administrasi negara (pejabat publik) dalam proses pemberian pelayanan umum yang menyimpang dan bertentangan dengan kaidah atau norma hukum yang berlaku atau melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang atas tindakan tersebut menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi masyarakat, dengan kata lain melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan administrasi.

Didalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, dijelaskan mengenai pengertian maladministrasi, yaitu: ”maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian meteriil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan”.

Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tersebut, maka unsur-unsur dari pemenuhan suatu tindakan maladministrasi adalah:
1).        Perilaku atau perbuatan melawan hukum;
2).        Yang melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, atau termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
3).        Yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan;
4).        Yang menimbulkan kerugian meteriil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Dengan demikian, tindakan pejabat pubik yang dapat dikategorikan telah memenuhi tindakan maladministrasi, adalah: 
1). Meliputi semua tindakan yang dirasakan janggal (inappropriate) karena melakukan tidak sebagaimana mestinya; 
2). Meliputi tindakan pejabat publik yang menyimpang (deviate);
3). Meliputi tindakan pejabat publik yang melanggar ketentuan (irregular/illegitimate); 
4). Penyalahgunaan wewenang (abuse of power); dan
5). Keterlambatan yang tidak perlu karena penundaan berlarut atas suatu kewajiban pemberian pelayanan publik (undue delay).

Komisi Ombudsman Nasional memberikan indikator bentuk-bentuk maladministrasi, antara lain: melakukan tindakan yang janggal (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegimate), penyalahgunaan wewenang (abuse of power), atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) dan pelanggaran kepatutan (equity).
Berikut ini 20 (dua puluh) subtansi permasalahan yang menjadi kompetensi Ombudsman, yang dapat diklasifikasikan sebagai suatu tindakan maladministrasi, yaitu:
1.                  Penundaan Berlarut
Secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan, sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) dan mengakibatkan tidak adanya kepastian dalam pemberian pelayanan umum.
2.         Tidak Menangani
Sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib dilakukan (menjadi kewajibannya) dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
3.         Persekongkolan
Beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan, kecurangan, melawan hukum dalam memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
4.         Pemalsuan
Perbuatan meniru suatu secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/atau kelompok.
5.         Diluar Kompetensi
Memutuskan sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya.
6.         Tidak Kompeten
Tidak mampu atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu.
7.         Penyalahgunaan Wewenang
Menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk keperluan yang tidak sepatutnya.
8.         Bertindak Sewenang-wenang
Menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan.
9.         Permintaan Imbalan Uang/Korupsi
9a.   Meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dilakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya.
9b.   Menggelapkan uang negara, perusahaan (negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
10.       Kolusi dan Nepotisme
Melakukan tindakan tertentu untuk mengutamakan sanak famili sendiri tanpa kreteria objektif dan tidak dapat dipertanggung jawabkan (tidak akuntable), baik dalam memperoleh pelayanan maupun untuk dapat duduk dalam jabatan atau posisi di lingkungan pemerintahan.
11.       Penyimpangan Prosedur
Tidak mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut.
12.       Melalaikan Kewajiban
Tindakan kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi tanggungjawabnya.
13.       Bertindak Tidak Layak / Tidak Patut
Melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya.
14.       Penggelapan Barang Bukti
Menggunakan barang, uang dan sebagainya secara tidak sah yang merupakan alat bukti suatu perkara.
15.       Penguasaan Tanpa Hak
Memiliki sesuatu yang bukan milik atau kepunyaannya secara melawan hak.
16.       Bertindak Tidak Adil
Melakukan tindakan memihak, melebihi atau mengurangi dari yang sewajarnya.
17.       Intervensi
Melakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya.
18.       Nyata-nyata Berpihak
Bertindak berat sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan perundangan yang berlaku.
19.       Pelanggaran Undang-Undang
Melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
20.       Perbuatan Melawan Hukum
Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan kepatutan.

Terhadap oknum pejabat publik yang terbukti bersalah melakukan tindakan maladministrasi dikenakan tindakan disiplin dan/atau sanksi administrasi (hukuman disiplin), bahkan mungkin diajukan ke Pengadilan yang berwenang, apabila tindakan maladministrasi tersebut mengandung aspek yuridis lain.
Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Mal-Administrasi
Mal-administrasi merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan terjadi.
Dengan mengacu pada konsep tadi, maka dapat ditemukan dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya tindakan mal-administrasi. Pertama faktor internal yaitu faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi. Kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa, lemahnya peraturan perundangan, lemahnya pelaksanaan pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan terbukanya kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.
Faktor Internal
Faktor Internal berupa kepribadian seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan mal-administrasi. Faktor ini disebabkan oleh lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan mereka, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa tindakan yang akan mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang tidak baik, tercela, buruk baik menurut nilai-nilai sosial, maupun menurut ajaran agama mereka. Namun karena rendahnya sikap mental mereka, dangkalnya keimanan dan keagamaan mereka, maka manakala ada kesempatan ada niatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi dengan mudahnya mereka lakukan. Faktor Internal muncul banyak pula dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain faktor kebutuhan keluarga, kesempatan, lingkungan kerja, dan lemahnya pengawasan, dan lain sebagainya. Jika pada diri orang tersebut mempunyai sikap mental yang tinggi, keimanan dan keagamaan mereka juga tinggi, maka walaupun ada tuntutan kebutuhan keluarga, kesempatan melakukan selalu ada, lingkungan kerja memungkinkan, dan pengawasan sangat lemah, maka mereka tidak akan melakukan tindakan mal-administrsi tadi. Karena mereka tahu dan yakin bahwa tindakan itu merupakan suatu tindakan yang buruk, tidak baik, tercela dan bahkan merupakan suatu tindakan yang berdosa.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa berupa, lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi.
Peraturan perundangan dimana mereka bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat untuk diikuti dan dipatuhi oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran bagi pegawainya untuk melakukan tindakan mal-administrasi, karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain sebagainya, maka akan memberikan peluang ( kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan mal-administrasi tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu UU No.3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.11 Tahun 1980 tentang Pidana Suap, namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi. Dalam arti peraturan perundangan tadi masih belum banyak menjerat para pelaku korupsi. Hal ini disebabkan karena sulitnya untuk membuktikan tindakan korupsi, sehingga sulit untuk diproses sampai ke pengadilan. Belum lagi para pelaku korupsi yang telah menyiasati peraturan Perundang-undangan tadi dengan menggunakan pendekatan cost and benefit analysis ( analisis untung rugi ) dalam melakukan tindakan korupsi. Dalam arti antara hukuman yang diberikan dengan hasil korupsi yang dilakukan ternyata masih menguntungkan ( hasil korupsi lebih besar daripada tuntutan atau ganjaran hukuman). Bahkan ada mekanisme banding yang dapat menunda hukuman, bisa melakukan kasasi, grasi, yang bisa jadi prosesnya cukup lama, sehingga memberi peluang bagi pelaku korupsi untuk menyiasati hasil korupsinya.
Lemahnya lembaga pengawasan (control) dalam melaksanakan tugasnya juga merupakan salah satu penyebab munculnya tindakan mal-administrasi. Kendatipun lembaga pengawasan baik pengawasan politik,maupun pengawasan fungsional telah dibentuk, seperti DPR(D), BPK, BPKP, Irjen, Irwilprop, Irwilkab, Irwikod, dan bahkan waskat, serta wasmas telah dibentuk dan berjalan, namun para pelaku dari lembaga tersebut masih dengan mudah untuk diatur, masih mau disuap, disogok, dan sejenisnya, maka lembaga pengawasan ( control ) yang ada juga tidak akan mampu untuk melakukan pencegahan timbulnya tindakan mal-administrasi yang ada dalam tubuh birokrasi publik.
Lingkungan kerja, juga merupakan faktor penting untuk memberi peluang munculnya suatu tindakan mal-administrasi. Lingkungan dimana kita berada akan mempengaruhi sifat dan perilaku kita. Bila kita berada pada lingkungan keras, akan membentuk sifat dan perilaku kita juga cenderung keras. Demikian pula bila kita berada pada lingkungan agamis, juga akan membentuk sifat dan perilaku kita cenderung agamis kita. Lingkungan kerja dimana kita bekerja yang menilai bahwa suatu tindakan yang menyimpang ( korupsi misalnya) di anggap sesuatu yang wajar, maka akan membentuk dan memberi peluang perilaku yang menyimpang dari etika administrasi juga. Sebaliknya manakala lingkungan kerja cukup ketat, bahwa tindakan yang menyimpang (korupsi) dinilai sebagai suatu tindakan yang tidak baik,buruk, dan tercela juga maka juga akan membentuk sikap, perilaku untuk tidak korup dan tidak akan memberi peluang munculnya tindakan yang korup.

No comments:

Post a Comment