Friday 13 April 2018

Makalah Filsafat hukum Islam Tentang Aliran2 Hukum Dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pelaksanaan hukum Islam merupakan refleksi keislaman seorang muslim yang dinafasi nilai keimanan (akidah) dan perbuatan yang disebut akhlak. Hukum Islam itu sendiri dipahami dan dimaknai bermacam-macam bentuknya, yaitu: Syari’ah, Fikih dan Siyasyah Syar’iyah.Pesan atau kehendak Allah dalam hukum Islam yang disebut Maqashid al-Syari’ah dilacak dan dipahami oleh manusia  dengan bermacam-macam bentuk dari model paradigma yang digunakan. Dengan demikian maka timbullah ilmu-ilmu agama (Islam) yang merupakan pemikiran atau pengembangan dari akal manusia  melalui al-ra’yumelalui ijtihad oleh mujtahid baik secara individual (fardhi) atau secara kolektif (jama’i).
Islam itu statis, tetapi pemahaman Islam dinamis. Demikianpun syari’at Allah terdapat karakteristik yang tidak boleh adanya campur tangan pemikiran manusia sama sekali (ghairu ta’aqul al-makna) biasanya dalam bidang ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan haji. Adapun zakat dalam pelaksanaan dan substansi hukum zakat itu berkembang. Selain itu hukum Allah dalam bidang mu’amalah sangat dinamis dan harus dikembangkan oleh akal manusia (ta’aqul al-makna) sesuai dengan perkembangan baik yang menyangkut tempat maupun waktu yang melingkupinya. Walaupun hukum mu’amalah dapat dikembangkan oleh akal manusia sesuai perkembangan zaman, tetapi harus tetap ada cantolannya. Dan Surat an-Nisa’ ayat 59 merupakan sumber  pembentukan ilmu-ilmu agama.
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim Kajian Tentang Mazhab Dalam Hukum Islam makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti “pergi” . Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat” .
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
1.      Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
2.      Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail , para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada .
Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani. beliau menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebu.
Dan kita ingi mengetahui apa yang menlatar belakangi timbulnya madzhab dan apa pentingnya bermadzhab.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah munculnya Madzhab Hukum dalam Islam?
2.      Bagaimana Madzhab Hukum dalam Islam dan ciri- cirinya?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Timbulnya Madzhab Hukum Dalam Islam
Sebelum ditinjau sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu maksud perkataan “Mazhab” dan “Imam” itu sendiri. Mazhab dari sudut bahasa bererti “jalan” atau “the way of”. Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah dan dari sudut fiqh.
Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya. Antara contoh mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap dari pada kumpulan mazhab akidah ini mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya yang tersendiri. Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali.[1]
Mazhab fiqh pula, sebagaimana terang Huzaemah Tahido, bererti: Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia juga berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.[2]
Peristiwa politik yang  berorientasi kepada semangat umat islam dan banyak berpengaruh bagi perkembangan fiqih adalah jatuhnya dinasti Umayyah dan tampilnya dinasti Abbasiyyah dipanggung kekuasaan. Pada masa kekhalifahan bani Umayyah, para penguasa tidak mau terlalu banyak ambil pusing dan terlibat kedalam urusan keagamaan.
Berbeda dengan daulah Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah terangkat ke atas tahta  khalifah bulkan semata-mata karena revolusi politik, perpindahan dinasti tersebut mengandung arti transpormasi yang mendalam dalam masalah agama dan perubahan teokrasi. Para Ulama merasa terobati rasa jenuhnya terdapat tingkah laku para kahlifah dinasti Ummayyah.[3]
Masa daulah Abbasiyyah, agama bukan sekedar penting bagi Negara, tetapi justru merupakan urusan utama dan pertama bagi Negara. Dengan keadaan yang sedemikian itu, tidaklah mengherankan  jika para teolog dan ahli bidang keagaaman tampil  berkerumun di istana dan pemerintahan, karena  hukum dan administrasi peradilan harus disusun dan dibangun sesuai dengan pemerintahan agama. Dengan demikian prefensi harus diberikan kepada ahli agama dan orang-orang yang mempelajari dan mempraktikkan Sunnah. Dengan dinasti baru ini tibalah saatnya perkembangan dan kesuburan hukum islam.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail , para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada .
Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut .
1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
a. ahl al-Ra’yi
kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi
b. ahl al-Hadis terdiri atas :
1. Mazhab Maliki
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
2. Syi’ah
a. Syi’ah Zaidiyah
b. Syi’ah Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah
a. Mazhab al-Auza’i
b. Mazhab al-Zhahiry
c. Mazhab al-Thabary
d. Mazhab al-Laitsi
Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani. beliau menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.
Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut :
1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)
4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)
6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
13. Ibnu Jarir at-Thabari
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebu.
Pada masa Abbasiyyah, lembaga-lembaga kenegaraan, administrasi peradilan agama dengan segala macam transaksi, sampai kepada ketentuan-ketentuan hukum sipil yang paling sederhana, harus memenuhi tuntutan-tuntutan hukum agama. Abad ini merupakan abad fiqih, abad ahli-ahli yurisprudensi, dan abad fuqaha. Qadhi merupakan tokoh yang terhormat yang penting dalam hal ini. Dibawah kekhalifahan yang terorekrasi itu, studi tentang yurisprudensi berkembang secara intensif dari pusat kekuasaan sampai daerah negeri yang paling terpencil. Upaya dan usaha dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum tersebut didukung dengan moril dan materil, sehingga masyaraskat maju dengan pesat.
Pada masa Abasiyyah ini, dalil-dalil dan peraturan-peraturan baru disimpulkan dari bahan-bahan yang diterima. Ada kalanya hasilnya dipertentangkan oleh para ulama’ yang ada ketika itu. Pertentangan itu disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
1.      Perbedaan pendirian terhadap sumber-sumber hukum
Sumber-sumber hukum yang diperselisihkan itu adalah:
a.       Hadits
Segi-segi yang diperselisihkan dalam hadits adalah sebagai berikut:
1)      Tingkat origanilitas dan validitas sebuah hadits baik ditinjau dari segi sanad, rawi dan matannya.
2)      Tingkat orientasi dan kecenderungan ulama terhadap hadits sebagai dasar hukum.
b.      Perbedaan pendapat tentang sumber hukum selain al-Quran dan al-Hadits, seperti Qiyas, Istihsan, Mashlahah Mursalah dan lain-lain.
2.      Perbedaan pendirian tentang aturan-aturan bahasa dalam pemahaman terhadap suatu Nash (Qur’an dan Hadits)
Secara garis besar, pemahaman yang berbeda tentang sesuatu nash dapat dibagi menjadi dua :
a.       Pengertian kata-kata tunggal; kata-kata musytarak, suruhan dan larangan, hakikat dan majas, serta mutlak dan muqayyad.
b.      Susunan kata-kata; pengecualian dari kata-kata umum, mafhum mukhallafah, fahwa al khitab, ‘umum al muqtadha, dan istisna.
3.      Lokasi atau lingkungan tempat tinggal ahli hukum
Perbedaan lokasi sangat berpengaruh bagi bentuk hukum yang ditetapkan. Kebiasaan dan adat setempat telah lama berurat-berakar tidak bisa diabaikan begitu saja. Dari perbedaan lokasi inilah dua kelompok yang berbeda dalam penetapan hukum yaitu:
a.       Ahl al-Ra’yi
Aliran ini timbul karena sedikitnya hadits yang tersebar di wilayah tempat fuqaha’ berada. Contohnya adalah irak. Sedikitnya jumlah hadist itu, menyebabankan fuqaha’ di daerah tersebut memecahkan banyak persoalan yang muncul ke permukaan dengan akal (ra’yu) mereka.
b.      Ahl al-Hadits
Pemegang aliran  ini berasal dari daerah yang banyak tersebar hadits di daerah tesebut, seperti Madinah.
Namun perlu dicatat bahwa  ahl al-Ra’yi tidak meninggalkan teks al-Quran atatu Hadits sama sekali, begitu sebaliknya, ahl al-Hadits tidak berarti  sama sekali mengesampingkan akal.
4.      Situasi dan kondisi
Termasuk di dalamnya adalah persoalan politik. Perbedaan pendapat di kalangan muslim awal tentang masalah politik, seperti pengangkatan khalifah, khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai mazhab hukum dalam islam.
5.      Pandangan dan metode
Persyaratan pemerintahan hadits bagi ahl al-Sunnah salah satunya adalah apabila perawinya adalah adil dan cermat (dhabit), sampai ke akhir sanad sampai ada kelainan dan cacat, baik perawinya dari ahl al-Baiyt atau bukan. Berbeda dengan mazhab ahl al-Sunnah. Mazhab syi’ah selalu mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh ahl al-Baiyt.
Gradasi antara kecenderungan-kecenderungan inilah yang menyebabkan timbulnya aliran-aliran pemikiran yang berbeda-beda, terutama di dalam detail-detail keputusan hukum tertentu. Aliran-aliran pemikiran itu kemudian disebut dengan mazahib (tunggal; mazhab) yang berarti “arah”, “tata cara”, “aliran pemikiran”[4]
B.     Beberapa Madzhab Hukum Islam Dan Ciri-Cirinya
Dari mazhab-mazhab pemikiran hukum yang memiliki perbedaan-perbedaan kecil di bidang ritus dan hukum. Beberapa di antaranya masih bertahan hingga sekarang dan yang satu lebih menonjol dari yang lain di sebagian besar dunia islam. Awal dominasi aliran hukum di suatu daerah sebagian besar ditentukan oleh tokoh-tokohnya, murid-murid yang menyampaikan pandangan-pandangan khusus aliran yang mereka anut, dan karena reputasinya.
Beberapa mazhab fiqh tersebut dapat dikategorikan kepada tiga kelompok besar, yaitu: kelompok ahl  al-sunnah, kelompok Syi’ah dan kelompok Khawarij.[6] Mazhab-mazhab hukum ahl al-Sunnah banyak sekali, di antaranya telah leyap. Mazhab-mazhab tersebut antara lain adalah mazhab Sufyan bin Uyainah di Makkah, mazhab Malik bin Anas di Madinah, mazhab al-Hasan al-Bashri di Bashrah, mazhab Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kuffah, mazhab al- Auza’i di Syam, mazhab al-Syafi’I dan Laits bin Sa’ad di Mesir, mazhab ibn Jarir al-Thabari, mazhab Abu Tsaur dan Ahmad bin Hambal, dan mazhab Dawud al-Asfahani/al-Zhahiri di Baghdad.
Mazhab-mazhab hukum dalam Syi’ah adalah mazhab Ja’fariyah atau mazhab Imamiyah al-Itsna ‘Asyriyah, mazhab Zaidiyah, mazhab al-Bahrah al-Isma’iliyah. Sedangkan mazhab hukum dalam Khawarij yang masih dalam mazhab ‘Ibady.
Berikut ini dipaparkan secara singkat beberapa mazhab hukum tersebut dengan ciri-cirinya.
1.      Mazhab-mazhab ahl al-Sunnah

a.      Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh imam Hanifah yang bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern., beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah di Kufah.[7] Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan sebagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.
Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah yang baru yang belum  terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dan menganjurkan pembahasan persolaan dengan bebas merdeka. Ia banyak mengandalkan Qiyas (analogi) dalam menentukan hukum dan lebih mengutaman analogi yang rendah tetapi menguntungkan daripada analogi (Qiyas) yang kuat tapi tidak menguntungkan. Dia banyak menetapkan hukum berdasarkan istihsan dan istishab.
Tentang cara beliau menetapkan hukum dari suatu persoalan diungkapkan sendiri sebagai berikut:
“saya mengambil hukum dari al-Qur’an, jika saya tidak mendapatkan dari al-Qur’an, maka saya bersandar kepada sabda-sabda Rasul yang shahih dan yang terdapat di kalangan-kalangan orang yang bisa dipercaya. Bila dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak saya temukan sesuatupun, maka saya beralih kepada keterangan para sahabat. Saya mengambil mana yang  saya kehendaki dan meninggalkan mana yang saya kehendaki. Setelah berpijak pada pendapat para sahabat, saya menengok kepada pendapat orang-orang lain. Jika telah sampai kepada pendapat Ibrahim, al-Syu’bi, Hasan Basri, Ibnu Sirin, Musayyad-sambil beliau mengemukakan beberapa nama ulama besar dari pada mujtahid,-maka aku pun berhak melakukan ijtihad sebagaimana yang mereka lakukan. Sahal bin Muzahib pernah mengatakan:
“pendapat Abu Hanifah berpegang kepada apa yang dipercaya, menjauhkan diri dari keburukan, suka memperhatikan adat-istiadat dari hal ihwal orang banyak, apa yang dianggap baik dan buruk oleh mereka. Imam Hanafi memecahkan berbagai problematika dengan jalan Qiyas, apabila jalan itu kurang terasa tepat, maka beliau menempuh jalan Istihsan selama  jalan ini dapat ditempuh, maka beliau mengembalikan urusan itu kepada apa yang telah dilakukan oleh kaum muslimin”.
Dari keterangan di atas dapat diambil pemahaman bahwa dasar Imam Abu Hanifah dalam menginstimbatkan hukum adalah:
1)      Kitabullah (al-Quran)
2)      Sunah Rasul dan atsar-atsar yang shahih serta telah masyhur (tersiar) di antara ulama ahli.
3)      Fatwa para sahabat
4)      Qiyas
5)      Istihsan
6)      Ijma’ para ulama’.[8]
7)      Adat yang berlaku dimasyarakat
Murid Iman Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah:
1)      Iman Abu Yusuf al-An Shary
2)      Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani
3)      Iman zafar bin Hudzail
4)      al-Hasan bin Ziyad al-Kufy.
Begitu pun fuqaha'-fuqaha' (Ulama ahli Fiqh) yang mengikuti mazhab Imam Hanafi. Di antara mereka adalah:
1)      Yahya bin Akhtam bin Muhammad bin Qatn At-Tamimi Al-Marwazi
2)      Hilal bin Yahya bin Muslim Al-Basri
3)      Abu Abdullah Muhammad bin Shuja' Al-Tsalji
4)      Ahmad bin Al-Hasan Abu Sa'id Al-Barda'i
5)      Muhammad bin Musa bin Muhammad Abu Bakr Al-Khawarizmi
6)      'Ala' Ad-Din Muhammad bin Ahmad bin Abi Ahmad As-Samarqandi
7)      'Ala' Ad-Din Abu Bakr bin Mas'ud bin Ahmad Al-Kasani
8)      Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz Ad-Dimasyqi (Ibn Abidin)


b.      Mazhab Maliki
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas atau bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirul Ashbani di  (Madinah, 93 Hijriyah). Dianut oleh sekitar 15% umat Muslim, kebanyakan di Afrika Utara dan Afrika Barat. Dasar imam maliki dalam memutuskan suatu hukum adalah al-Qur’an, kemudian Sunnah Rasulullah SAW. Bila tidak didapati dalam kedua sumber itu, maka maka beliau mengikuti ijmak ulama ahli Madinah dan praktik penduduk Madinah. Jika Ijmak pun tidak didapatkan barulah beliau berpindah kepada Qiyas. Bila Qiyas juga beliau tidak dapatkan, maka beliau memutuskan dengan jalan “al-Mashalih al-Mursalah” atau “istislah”,[9] yakni memelihara tujuan agama dengan jalan menolak kebinasaan dan menuntut kabaikan, atau memelihara tujuan syarak dengan jalan menolak sesuatu yang merusak makhluk. Ketentuan marsalih mursalah digunakan adalah ketika semua dasar-dasar penetapan hukum di atas tidak ada yang menentangnya.
Tentang cara Iman Malik dalam mengambil hukum ini diungkapkan oleh Qadhi Iyadh sebagai berikut:
“Malik senantiasa mengutamakan ayat-ayat al-Quran dalam menyusun dalili-dalilnya yang jelas, ia memulai dengan nashnya, kemudia zhahirnya kemudian mafhumnya. Setelah itu barulah beralih kepada Hadits, dengan mengutamakan hadis Mutawatir, lalu yang masyhur dan barulah yang ahad, dengan cara tertib seperti ketika beliau mengambil hukum dari al-Quran, setalah al-Quran dan Hadits, barulah ia berpindah kepada Ijmak. Jika dalam sumber-sumber pokok itu beliau tidak menjumpai pemecahan, barulah beliau menempuh jalan Qiyas yang dijadikan sandaran dalam menyimpulkan suatu hukum”.
Secara ringkas, dasar mazhab Maliki dalam menentukan suatu hukum adalah:
1)      Al-Qur’an
2)      Sunnah
3)      Ijmak ahli Madinah
4)      Qiyas
5)      Istislah atau al-Mashalih al-Mursalah

c.       Mazhab Syafi’i
Mazhab ini didirikan oleh Imam Syafi’i.[10] Mazhab fiqih Syafi’I merupakan perpaduan antara mazhab Hanafi dan mazhab Maliki.[11] Ia terdiri dari dua qaul (pendapat), yaitu qaul qadim (pendapat lama) di Irak dan qaul jadid (pendapat baru) di Mesir.[12] Mazhab Syafi’I terkenal sebagai mazhab yang paling berhati-hati dalam menentukan hukum. Karena kehati-hatiannya tersebut, kadangkala pendapatnya kurang terasa tegas.
Ciri mazhab Syafi’I dalam menyimpulkan hukum adalah senantiasa bersandar pada al-Quran menurut artinya yang zhahir, kecuali apabila ada petunjuk bahwa yang dimaksud bukan yang terkandung dalam makna zhahir tersebut. Bila ada petunjuk seperti itu barulah beliau mengambil sikap.
Sandaran  kedua dari mazhab Syafi’I adalah Sunnah. Menurutnya orang tidak mungkin berpindah dari sunnah selama Sunnah masih ada. Mengenai Hadits Ahad, al-Syafi’I tidak mewajibkan syarat “kemasyhuran” sebagaimana yang berlaku pada mazhab Hanafi. Tidak pula mewajibkan persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Malik, yaitu harus ada perbuatan yang memperkuatnya. Menurut al-Syafi’I hadits itu sendiri tanpa yang lain sudah dianggap cukup. Baginya hadits Ahad tidak jadi soal untuk dijadikan sandaran, selama yang meriwayatkannya dapat dipercaya, teliti, dan selama hadits itu Muttasil (sanadnya bersambung) kepada Rasulullah. Jadi beliau tidak mengharuskan hanya mengambil Hadits  Mutawatir saja.
Sandaran ketiga al-Syafi’I adalah Ijmak. Jika dengan Ijmak belum juga mencukupi, beliau menuju kepada fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang mempertentangkannya. Apabila fatwa sahabat yang disepakati tersebut tidak didapatkan, maka beliau beralih kepada fatwa sahabat yang masih diperselisihkan. Setelah itu barulah ia menempuh jalan Qiyas bila telah keadaan memaksa. Syafi’I tidak menyetujui cara Istihsan yang dijadikan sandaran ulama Irak, begitu pula ia tidak menyetujui jalan Mashalih Mursalah yang ditempuh oleh Imam Malik.[13]
Bila Syafi’I tidak mendapatkan keputusan hukum dari dasar-dasar di atas, maka beliu mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandar atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir ini disebut “syar’u man qablana”. Beliau juga tidak sekali-kali mengambil buah pikiran manusia dalam menentukan hukum.
Secara ringkas dasar Mazhab Syafi’I dalam menentukan hukum adalah:
1)      Al-Quran
2)      Sunnah
3)      Ijmak
4)      Fatwa sahabat yang disepakati
5)      Fatwa sahabat yang diperselisihkan
6)      Qiyas
7)      Istidlal
Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia
d.      Mazhab Hanbali
Mazhab ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Hambal (lahir 164 H). ciri umum mazhab Hanbali adalah lebih bayak berpijak pada dalil-dalil naqli dari pada ketentuan akal.[14] Ibn Qayyin menulis bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan mazhabnya berdasarkan pada lima pokok, yaitu:
1)      Nash al-Quran dan Sunnah. Ia memberikan fatwa berdasarkan nash, tampa menghiraukan siapa yang menentangnya, meskipun yang menentang itu sahabat yang penting.
Imam Ahmad menyakini Hadits yang melarang seorang muslim mewarisi orang kafir dan sebaliknya. Dia tidak menghiraukan pendapat Mu’awiyyah yang memperbolehkan pewarisan tersebut.
2)      Fatwa sahabat. Bila tidak ditemukan nash, maka Imam Ahmad bertolak pada fatwa sahabat, sebatas ia tidak mengetahui fatwa tersebut ada yang menentangnya atau masih dalam perselisihan.
3)      Fatwa yang paling dekat dengan nash. Memilih pendapat sahabat yang yang mendekati al-Qur’an dan Sunnah bila ada beberapa pendapat yang berlainan dari para sahabat tentang suatu hukum. Kadang ia tidak memberikan fatwa jika tidak ada yang menguatkan pendapat sahabat itu, dan kadang pula mengambil salah satu pendapat yang masih diperselisihkan tersebut.
4)      Hadits Mursal dan Dha’if yang dianggapnya lebih kuat dari Qiyas. Penggunaan hadits mursal dan dha’if tersebut dilakukan selama tidak ada dalil lain, pendapat sahabat, dan ijmak yang menentangnya. Namun, hadits dha’if yang beliau ambil bukanlah Hadits yang batal, munkar, dan yang tertuduh dusta perawinya. Hadis dha’if yang beliau ambil adalah hadits yang tidak sampai kepada derajat hasan dan shahih.
5)      Qiyas. Jika keempat pokok di atas tidak dapat  dilakukan, barulah ia berpindah kepada qiyas. Jadi qiyas dilakukan karena keterpaksaan.
e.       Mazhab Zhahiri
Mazhab ini didirikan oleh Abu Sulaiman Dawud bin Ali bin Khalaf al-Asfahani al-Zhahiri. Beliau dilahirkan d Kufah tahun 202 H. Mazhab ini mempunyai ciri pengamalan teks literal dari al-Quran dan Sunnah tanpa dibarengi penafsiran terhadapnya, kecuali ada dalil yang memerintahkan penggunaan pengertian selain makna lahiriyah tersebut. Apabila tidak didapatkan nash, mereka berpegang pada Ijmak. Mereka menolak jalan Qiyas secara tegas dengan alasan bahwa dalam al-Qur’an dan hadits terdapat sandi-sandi dan sendi-sendi yang mencukupi segala masalah.
Dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapati nash al-Qur’an dan Sunnah, maka mereka mengambil Ijmak seluruh umat manusia. Jelas syarak ini tidak mungkin terwujud. Dengan demikian, maka sebenarnya mazhab ini menolak Ijmak. Sedangkan Qiyas mereka tolak. Akan tetapi, dalam praktiknya, mazhab  ini juga menerima analogi (qiyas). Dalam mazhab ini qiyas dikenal dengan istilah al-dalil.
2.      Mazhab-mazhab Fiqh Syi’ah
Syi’ah sebagai kelompok pendukung dan pembela Ali Ibn Abi Thalib ra. dan keturunannya, selain mengembangkan keturunan dalam bidang teologi, mereka juga mengembangkan pemikirannya dalam bidang hukum.
Semua pengikut mazhab Syi’ah bersepakat bahwa imam-imam mereka itu akan terus berganti setelah wafatnya Ali ra. Namun demikian, mereka berpendapat mengenai siapa yang menjadi imam. Perbedaan pendirian ini mengakibatkan munculnya mazhab-mazhab teologi dan hukum. Mazhab hukum yang ada dalam Syi’ah adalah: mazhab al-Ja’fariyah atau al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyriyah, mazhab al-Zaidiyah, dan mazhab al-Bahrah al-Isma’iliyah.
a.      Mazhab al-Ja’fariyah
Mazhab Syiah Ja’fariyah adalah sebuah kelompok besar dari umat Islam pada masa sekarang ini, dan jumlah mereka diperkirakan ¼ jumlah umat Islam. Banyak dari kelompok ini yang tinggal di Iran, Irak, Palestina, Afganistan, India, dan tersebar secara luas ke negara-negara republik yang memisahkan diri dari Rusia, juga ke negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, Amerika, dan Benua Afrika serta Asia timur. Mereka memiliki masjid-masjid, Islamic Center,  pusat-pusat kegiatan budaya dan sosial.
Mazhab ini berpendapat bahwa imam setelah Ja’far al-Shadiq adalah Musa al-Kazim. Mazhab Syi’ah ini adalah menetapkan hukum mengambil sumber dari al-qur’an dan hadits, serta ucapan para imam.  Mereka beranggapan bahwa imam mereka adalah ma’shum (Infallable). Menurut mereka Ali telah menerima pemahaman lahiriyah dan bathiniyah maksud-maksud syari’ah dari Rasulullah saw. Pemahaman ini terus disambungkan kepada kahlifah-khalifah penerusnya. Sehingga perkataan imam bagi mereka merupakan nash. Mereka tidak menerima ijtihad dan ra’yu. Mereka hanya mengambil hukum-hukum itu dari imam yang ma’shum. Sebagai konsekuensinya mereka menolak ijmak dan qiyas.[15]
Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa 12 imam  itu ialah :
1)      Imam Ali bin Abi Thalib Al-Mujtaba a.s.
2)      Imam Hasan Al-Mujtaba a.s.
3)      Imam Husain Sayyid Asy-Syuhada a.s. (keduanya adalah putra Imam Ali dan Sayidah Fatimah a.s. dan cucunda Nabi saw.
4)      Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad a.s.
5)      Imam Muhammad bin Ali Al-Bagir a.s.
6)      Imam Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq a.s.
7)      Imam Musa bin Ja’far Al-Khadzim a.s.
8)      Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.
9)      Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad-At-Taqi a.s.
10)  Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi- An-Naqi) a.s.
11)  Imam Hasan bin Ali Al-‘Askari a.s.
12)  Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi Al-Muntazhar a.s. yang dijanjikan dan dinantikan.
Imamah bagi mereka merupakan tiang dan rukun agama. Imamiyah selalu menentang pendapat pribadi yang berdasarkan pikiran. Mereka berkata bahwa agama tidak mungkin ditetapkan menurut pendapat akal. Mereka tidak menyetujui qiyas dan mengecam orang yang menempuh jalan ini. Imam mazhab ini yang terkenal adalah Abu Abdullah Ja’far al-Shadiq, dan Abu Ja’far Muhammad al-Baqir.
b.      Mazhab al-Zaidiyah
Syi’ah al-Zaidiyah menasbahkan dirinya kepada Zaid bin Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Imam-imam mereka yang terkenal adalah al-Hasan bin Ali bin al-Hasan bin Zaid bin Umar bin Ali bin al-Husein, dan al-Hasan bin Zaid bin Muhammad bin Isma’il bin al-Husein bin al-Hadi Yahya bin al-Hasan.
Berbeda dengan mazhab-mazhab Syi’ah lainnya, mazhab ini mengaku kekhalifahan Umar dan Abu Bakar, akan tetapi mereka menganggap bahwa yang lebih utama untuk menjadikan khalifah adalah Ali ra. Seperti juga mazhab-mazhab imamiyah, mereka hanya bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh golongan Syi’ah.
c.       Mazhab al-Isma’iliyah
Mazhab Ismailiyah adalah mazhab penganut terbesar kedua dari mazhab Syiah setelah mazhab dua belas. Mazhab ini mengaku Isma’il bin Ja’far al-Shadiq sebagai imam dan tidak mengakui Musa bin Ja’far (Musa al-Kazim) sebagai imam.
Syi’ah Isma’iliyah membagi al-Qur’an menjadi dua arti, yakni arti lahir dan arti bathin. Golongan ini oleh sebagian ulama Sunni telah dianggap keluar dari Islam.
Sebagaimana golongan ahl al-Sunnah, pengikut Syi’ah pun dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yakni kelompok yang banyak berorientasi pada teks atau nash dan kelompok yang  paling banyak menggunakan nalar. Kelompok yang pertama dikenal sebagai kelompok akhbari (Ahl al-Hadits dalam istilah Sunni) dan kelompok kedua disebut Ushuli (Ahl al-Ra’yi dalam istilah Sunni).
Kaum penganut Ismailiyah umumnya dapat ditemukan di India, Pakistan, Suriah, Lebanon, Israel, Arab Saudi, Yaman, Tiongkok, Yordania, Uzbekistan, Tajikistan, Afganistan, Afrika Timur, dan Afrika Selatan. Pada beberapa tahun terakhir, sebagian di antara mereka juga beremigrasi ke Eropa, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Utara.


DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Fahrurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Al-Khudary, Muhammad. 1981. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islamy, Indonesia:Darul al-kutub al-Arabiyah.
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Hanafi
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Maliki
Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi%27i
http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/004/01.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismailiyah














[1] Ensiklopidi Islam (ed: Hafidz Dasuki; PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994) – ‘Mazhab’.
[2] Huzaemah Tahido – Penghantar Perbandingan Mazhab (Logos Wacana Ilmu; Jakarta, 1997), hlm. 71-72.
[3] Fahrurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, h. 106.
[4] Mazhab itu bukanlah “sekte” karena miski berbeda pendapat, tokoh-tokoh mazhab itu mempunyai keyakinan yang kuat bahwa  mereka sama-sama  berpijak di atas satu pijakan, mengabdi pada cita-cita yang sama, dan dengan hak yang sama pula.
[5] Fahrurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, h. 108-110.
[6] Sebagian pendapat mengatakan bahwa Khawarij merupakan kelompok sempalan dari dua kelompok besar dalam mazhab fiqh islam yang eksis pada masa sekarang,. Yakni Sunni dan Syi’i.
[7] Nama asli beliau adalah An-Nu man bin Isabit bin Zuthy. Lihat al-Syekh Muhammad al-Khudary, tarikh al-tasyri’ al-islamy, (Indonesia:Darul al-kutub al-Arabiyah, 1981), cet.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Hanafi

[9] Hukum yang diambil Imam Malik dengan dasar Istislah dan Qiyas adalah permasalahan yang bersangkut paut dengan “mua’amalah” atau urusan keduniaan, bukan urusan “ubudiyah” (peribadatan)
[10] Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. beliau dilahirkan di Ghazzah tahun 150 Hijriyah.
[11] Al-Syafi’I adalah murid Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Sehinnga sementara orang berpendapat bahwa beliau adalah masalah hukum mengetahui kelemahan dan kekuatan mazhab Hanafi dan Maliki. Dengan pengetahuaanya tersebut dia mengumpulkan segi-segi kebaikan dan meninggalkan yang tidak disetujui dari kedua mazhab itu serta mengemukakan pendapat baru yang belum terpecahkan pada keduanya. Lihat Ahmad SYalabi, op. cit., h. 154.
[12] Perbedaan dua qaul (pendapat) tersebut disebabkan karena beliau menemukan fakta-fakta baru dalam penelitian, sehingga beliau merevisi pendapat-pendapat lama yang pernah dianutnya. Namum yang lebih utama, perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan lingkungan serta kebutuhan penduduk Mesir dan Irak. Perbedaan ini mengharuskan beliau berbuat untuk menyelaraskan ketentuan-ketentuan hukum yang diterapkan di tempat baru, antara keadaan –keadaan umum dan khusus,. Lihat ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, op. cit., h. 22-23.
[13] Mengenai Istihsan yang ditolak oleh Imam Syafi’I sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Ibthal al-Istihsan bukanlah istihsan seperti yang dimaksud oleh Abu Hanifah, sebab istihsan model itu beliau juga mempergunakannya dengan nama lain, seperti Istishab dan Munasabah. Secara jelas bisa dilihat dalam ungkapan al –Syafi’I sendiri: “Barangsiapa beristihsan berarti dia membuat syara’. Barang siapa yang meingkarinya berarti dia berhukum dengan hawa nafsunya, dengan tampa disertakan dalil. Lihat Al-Syekh Muhammad Ali al-Sayid, op. cit,. h. 100-101.
[14] Kenyataan ini memang sewajarnya terjadi, karena Ahamad bin Hanbal lebih banyak kecendrungannya sebagai ahli hadis dari pada ahli fiqih. Kitab tulisannya yang terkenal adalah “al-Musnad”.
[15] Fiqh Syi’ah sangat dipengaruhi oleh politik. Misalnya mereka tidak memperkenankan orang menjalankan shalat qashar bagi musafir kecuali kalau dia menuju Makkah,



[1] Ensiklopidi Islam (ed: Hafidz Dasuki; PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994) – ‘Mazhab’.
[2] Huzaemah Tahido – Penghantar Perbandingan Mazhab (Logos Wacana Ilmu; Jakarta, 1997), hlm. 71-72.
[3] Fahrurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, h. 106.
[4] Fahrurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, h. 108-110.