BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelaksanaan hukum Islam
merupakan refleksi keislaman seorang muslim yang dinafasi nilai keimanan
(akidah) dan perbuatan yang disebut akhlak. Hukum Islam itu sendiri dipahami
dan dimaknai bermacam-macam bentuknya, yaitu: Syari’ah, Fikih dan Siyasyah
Syar’iyah.Pesan atau kehendak Allah dalam hukum Islam yang disebut
Maqashid al-Syari’ah dilacak dan dipahami oleh manusia dengan
bermacam-macam bentuk dari model paradigma yang digunakan. Dengan demikian maka
timbullah ilmu-ilmu agama (Islam) yang merupakan pemikiran atau pengembangan
dari akal manusia melalui al-ra’yumelalui ijtihad oleh mujtahid
baik secara individual (fardhi) atau secara kolektif (jama’i).
Islam itu statis, tetapi
pemahaman Islam dinamis. Demikianpun syari’at Allah terdapat karakteristik yang
tidak boleh adanya campur tangan pemikiran manusia sama sekali (ghairu
ta’aqul al-makna) biasanya dalam bidang ibadah mahdhah seperti shalat,
puasa dan haji. Adapun zakat dalam pelaksanaan dan substansi hukum zakat itu berkembang. Selain itu hukum Allah
dalam bidang mu’amalah sangat dinamis dan harus dikembangkan oleh akal
manusia (ta’aqul al-makna) sesuai dengan perkembangan baik yang
menyangkut tempat maupun waktu yang melingkupinya. Walaupun hukum mu’amalah
dapat dikembangkan oleh akal manusia sesuai perkembangan zaman, tetapi harus
tetap ada cantolannya. Dan Surat an-Nisa’ ayat 59 merupakan sumber pembentukan ilmu-ilmu agama.
Menurut Bahasa “mazhab”
berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim Kajian Tentang Mazhab
Dalam Hukum Islam makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il
madhi “dzahaba” yang berarti “pergi” . Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo
bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat” .
Sedangkan secara
terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah,
atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara
istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang
masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan
bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
1. Mazhab adalah jalan
pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
2. Mazhab adalah fatwa atau
pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari
al-Qur’an dan hadis.
Dalam perkembangan
mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori
Ismail , para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan
mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa
jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak
mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan
sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan
sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii,
Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah
tiada .
Pendapat lainnya juga
diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani. beliau menjelaskan bahwa mazhab
fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran.
Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak
semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.
Dari penjelasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam
sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui
berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara
keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap
literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebu.
Dan kita ingi mengetahui
apa yang menlatar belakangi timbulnya madzhab dan apa pentingnya bermadzhab.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya Madzhab Hukum dalam Islam?
2. Bagaimana Madzhab Hukum dalam Islam dan ciri- cirinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Madzhab Hukum Dalam Islam
Sebelum ditinjau sejarah kemunculan
mazhab-mazhab fiqh Islam, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu maksud
perkataan “Mazhab” dan “Imam” itu sendiri. Mazhab dari sudut bahasa bererti
“jalan” atau “the way of”. Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan
untuk dua tujuan: dari sudut akidah dan dari sudut fiqh.
Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut
dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan
sebagainya. Antara contoh mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah,
Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah.
Setiap dari pada kumpulan mazhab akidah ini mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya
yang tersendiri. Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam,
halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah
ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali.[1]
Mazhab fiqh pula, sebagaimana terang Huzaemah
Tahido, bererti: Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempuh oleh seorang
mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan
al-Sunnah. Ia juga berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim
besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun
lainnya.[2]
Peristiwa politik yang berorientasi kepada semangat umat islam dan
banyak berpengaruh bagi perkembangan fiqih adalah jatuhnya dinasti Umayyah dan
tampilnya dinasti Abbasiyyah dipanggung kekuasaan. Pada masa kekhalifahan bani
Umayyah, para penguasa tidak mau terlalu banyak ambil pusing dan terlibat
kedalam urusan keagamaan.
Berbeda dengan daulah Ummayyah, Dinasti
Abbasiyyah terangkat ke atas tahta
khalifah bulkan semata-mata karena revolusi politik, perpindahan dinasti
tersebut mengandung arti transpormasi yang mendalam dalam masalah agama dan
perubahan teokrasi. Para Ulama merasa terobati rasa jenuhnya terdapat tingkah
laku para kahlifah dinasti Ummayyah.[3]
Masa daulah Abbasiyyah, agama bukan sekedar
penting bagi Negara, tetapi justru merupakan urusan utama dan pertama bagi
Negara. Dengan keadaan yang sedemikian itu, tidaklah mengherankan jika para teolog dan ahli bidang keagaaman
tampil berkerumun di istana dan
pemerintahan, karena hukum dan
administrasi peradilan harus disusun dan dibangun sesuai dengan pemerintahan
agama. Dengan demikian prefensi harus diberikan kepada ahli agama dan
orang-orang yang mempelajari dan mempraktikkan Sunnah. Dengan dinasti baru ini
tibalah saatnya perkembangan dan kesuburan hukum islam.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah
muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail , para ahli sejarah
fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan
para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang
pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah
ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang.
Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang
hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali,
Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada .
Sementara Huzaemah Tahido Yanggo
mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut .
1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
a. ahl al-Ra’yi
kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi
b. ahl al-Hadis terdiri atas :
1. Mazhab Maliki
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
2. Syi’ah
a. Syi’ah Zaidiyah
b. Syi’ah Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah
a. Mazhab al-Auza’i
b. Mazhab al-Zhahiry
c. Mazhab al-Thabary
d. Mazhab al-Laitsi
Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha
Jabir Fayald al-‘Ulwani. beliau menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul
setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran
ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat
diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.
Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu
adalah sebagai berikut :
1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w.
110 H.)
2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi
(w. 150 H.)
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn
Muhammad ( w. 157 H.)
4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w.
160 H.)
5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)
6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w.
270 H.)
11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w.
240 H.)
13. Ibnu Jarir at-Thabari
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk
dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan
mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah
persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai
pandangan mazhab-mazhab tersebu.
Pada masa Abbasiyyah, lembaga-lembaga kenegaraan,
administrasi peradilan agama dengan segala macam transaksi, sampai kepada
ketentuan-ketentuan hukum sipil yang paling sederhana, harus memenuhi
tuntutan-tuntutan hukum agama. Abad ini merupakan abad fiqih, abad ahli-ahli
yurisprudensi, dan abad fuqaha. Qadhi merupakan tokoh yang terhormat yang
penting dalam hal ini. Dibawah kekhalifahan yang terorekrasi itu, studi tentang
yurisprudensi berkembang secara intensif dari pusat kekuasaan sampai daerah
negeri yang paling terpencil. Upaya dan usaha dalam pengembangan ilmu
pengetahuan hukum tersebut didukung dengan moril dan materil, sehingga
masyaraskat maju dengan pesat.
Pada masa Abasiyyah ini, dalil-dalil dan
peraturan-peraturan baru disimpulkan dari bahan-bahan yang diterima. Ada
kalanya hasilnya dipertentangkan oleh para ulama’ yang ada ketika itu.
Pertentangan itu disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
1. Perbedaan pendirian terhadap sumber-sumber hukum
Sumber-sumber hukum yang diperselisihkan itu
adalah:
a. Hadits
Segi-segi yang diperselisihkan dalam hadits
adalah sebagai berikut:
1) Tingkat origanilitas dan validitas sebuah hadits baik ditinjau dari segi
sanad, rawi dan matannya.
2) Tingkat orientasi dan kecenderungan ulama terhadap hadits sebagai dasar
hukum.
b. Perbedaan pendapat tentang sumber hukum selain al-Quran dan al-Hadits,
seperti Qiyas, Istihsan, Mashlahah Mursalah dan lain-lain.
2. Perbedaan pendirian tentang aturan-aturan bahasa dalam pemahaman terhadap
suatu Nash (Qur’an dan Hadits)
Secara garis besar, pemahaman yang berbeda
tentang sesuatu nash dapat dibagi menjadi dua :
a. Pengertian kata-kata tunggal; kata-kata musytarak, suruhan dan larangan,
hakikat dan majas, serta mutlak dan muqayyad.
b. Susunan kata-kata; pengecualian dari kata-kata umum, mafhum mukhallafah,
fahwa al khitab, ‘umum al muqtadha, dan istisna.
3. Lokasi atau lingkungan tempat tinggal ahli hukum
Perbedaan lokasi sangat berpengaruh bagi
bentuk hukum yang ditetapkan. Kebiasaan dan adat setempat telah lama
berurat-berakar tidak bisa diabaikan begitu saja. Dari perbedaan lokasi inilah
dua kelompok yang berbeda dalam penetapan hukum yaitu:
a. Ahl al-Ra’yi
Aliran ini timbul karena sedikitnya hadits
yang tersebar di wilayah tempat fuqaha’ berada. Contohnya adalah irak.
Sedikitnya jumlah hadist itu, menyebabankan fuqaha’ di daerah tersebut memecahkan
banyak persoalan yang muncul ke permukaan dengan akal (ra’yu) mereka.
b. Ahl al-Hadits
Pemegang aliran ini berasal dari daerah yang banyak tersebar
hadits di daerah tesebut, seperti Madinah.
Namun perlu dicatat bahwa ahl al-Ra’yi tidak meninggalkan teks al-Quran
atatu Hadits sama sekali, begitu sebaliknya, ahl al-Hadits tidak berarti sama sekali mengesampingkan akal.
4. Situasi dan kondisi
Termasuk di dalamnya adalah persoalan politik.
Perbedaan pendapat di kalangan muslim awal tentang masalah politik, seperti
pengangkatan khalifah, khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi
munculnya berbagai mazhab hukum dalam islam.
5. Pandangan dan metode
Persyaratan pemerintahan hadits bagi ahl
al-Sunnah salah satunya adalah apabila perawinya adalah adil dan cermat
(dhabit), sampai ke akhir sanad sampai ada kelainan dan cacat, baik perawinya
dari ahl al-Baiyt atau bukan. Berbeda dengan mazhab ahl al-Sunnah. Mazhab
syi’ah selalu mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh ahl al-Baiyt.
Gradasi antara kecenderungan-kecenderungan
inilah yang menyebabkan timbulnya aliran-aliran pemikiran yang berbeda-beda,
terutama di dalam detail-detail keputusan hukum tertentu. Aliran-aliran
pemikiran itu kemudian disebut dengan mazahib (tunggal; mazhab) yang berarti
“arah”, “tata cara”, “aliran pemikiran”[4]
B. Beberapa Madzhab Hukum Islam Dan Ciri-Cirinya
Dari mazhab-mazhab pemikiran hukum yang memiliki
perbedaan-perbedaan kecil di bidang ritus dan hukum. Beberapa di antaranya
masih bertahan hingga sekarang dan yang satu lebih menonjol dari yang lain di
sebagian besar dunia islam. Awal dominasi aliran hukum di suatu daerah sebagian
besar ditentukan oleh tokoh-tokohnya, murid-murid yang menyampaikan
pandangan-pandangan khusus aliran yang mereka anut, dan karena reputasinya.
Beberapa mazhab fiqh tersebut dapat
dikategorikan kepada tiga kelompok besar, yaitu: kelompok ahl al-sunnah, kelompok Syi’ah dan kelompok
Khawarij.[6] Mazhab-mazhab hukum ahl al-Sunnah banyak sekali, di antaranya
telah leyap. Mazhab-mazhab tersebut antara lain adalah mazhab Sufyan bin
Uyainah di Makkah, mazhab Malik bin Anas di Madinah, mazhab al-Hasan al-Bashri
di Bashrah, mazhab Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kuffah, mazhab al-
Auza’i di Syam, mazhab al-Syafi’I dan Laits bin Sa’ad di Mesir, mazhab ibn
Jarir al-Thabari, mazhab Abu Tsaur dan Ahmad bin Hambal, dan mazhab Dawud
al-Asfahani/al-Zhahiri di Baghdad.
Mazhab-mazhab hukum dalam Syi’ah adalah mazhab
Ja’fariyah atau mazhab Imamiyah al-Itsna ‘Asyriyah, mazhab Zaidiyah, mazhab
al-Bahrah al-Isma’iliyah. Sedangkan
mazhab hukum dalam Khawarij yang masih dalam mazhab ‘Ibady.
Berikut ini dipaparkan secara singkat beberapa mazhab hukum
tersebut dengan ciri-cirinya.
1.
Mazhab-mazhab
ahl al-Sunnah
a.
Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh imam Hanifah yang
bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan
terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern., beliau
dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah di Kufah.[7] Mazhab ini diamalkan terutama
sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok
dan sebagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan
melihat pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab
Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.
Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam
memecahkan masalah-masalah yang baru yang belum
terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dan menganjurkan pembahasan
persolaan dengan bebas merdeka. Ia banyak mengandalkan Qiyas (analogi) dalam
menentukan hukum dan lebih mengutaman analogi yang rendah tetapi menguntungkan
daripada analogi (Qiyas) yang kuat tapi tidak menguntungkan. Dia banyak
menetapkan hukum berdasarkan istihsan dan istishab.
Tentang cara beliau menetapkan hukum dari suatu persoalan
diungkapkan sendiri sebagai berikut:
“saya mengambil hukum dari al-Qur’an, jika
saya tidak mendapatkan dari al-Qur’an, maka saya bersandar kepada sabda-sabda
Rasul yang shahih dan yang terdapat di kalangan-kalangan orang yang bisa
dipercaya. Bila dalam al-Qur’an dan al-Hadits
tidak saya temukan sesuatupun, maka saya beralih kepada keterangan para
sahabat. Saya mengambil mana yang saya
kehendaki dan meninggalkan mana yang saya kehendaki. Setelah berpijak pada pendapat
para sahabat, saya menengok kepada pendapat orang-orang lain. Jika telah sampai
kepada pendapat Ibrahim, al-Syu’bi, Hasan Basri, Ibnu Sirin, Musayyad-sambil
beliau mengemukakan beberapa nama ulama besar dari pada mujtahid,-maka aku pun
berhak melakukan ijtihad sebagaimana yang mereka lakukan. Sahal
bin Muzahib pernah mengatakan:
“pendapat Abu Hanifah berpegang kepada apa
yang dipercaya, menjauhkan diri dari keburukan, suka memperhatikan
adat-istiadat dari hal ihwal orang banyak, apa yang dianggap baik dan buruk
oleh mereka. Imam Hanafi memecahkan berbagai problematika dengan jalan Qiyas,
apabila jalan itu kurang terasa tepat, maka beliau menempuh jalan Istihsan
selama jalan ini dapat ditempuh, maka
beliau mengembalikan urusan itu kepada apa yang telah dilakukan oleh kaum
muslimin”.
Dari keterangan di atas dapat diambil pemahaman bahwa dasar Imam
Abu Hanifah dalam menginstimbatkan hukum adalah:
1)
Kitabullah
(al-Quran)
2)
Sunah
Rasul dan atsar-atsar yang shahih serta telah masyhur (tersiar) di antara ulama
ahli.
3)
Fatwa
para sahabat
4)
Qiyas
5)
Istihsan
6)
Ijma’
para ulama’.[8]
7)
Adat
yang berlaku dimasyarakat
Murid Iman Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya
adalah:
1)
Iman
Abu Yusuf al-An Shary
2)
Imam
Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani
3)
Iman
zafar bin Hudzail
4)
al-Hasan
bin Ziyad al-Kufy.
Begitu pun fuqaha'-fuqaha' (Ulama ahli Fiqh)
yang mengikuti mazhab Imam Hanafi. Di
antara mereka adalah:
1)
Yahya
bin Akhtam bin Muhammad bin Qatn At-Tamimi Al-Marwazi
2)
Hilal
bin Yahya bin Muslim Al-Basri
3)
Abu
Abdullah Muhammad bin Shuja' Al-Tsalji
4)
Ahmad
bin Al-Hasan Abu Sa'id Al-Barda'i
5)
Muhammad
bin Musa bin Muhammad Abu Bakr Al-Khawarizmi
6)
'Ala'
Ad-Din Muhammad bin Ahmad bin Abi Ahmad As-Samarqandi
7)
'Ala'
Ad-Din Abu Bakr bin Mas'ud bin Ahmad Al-Kasani
8)
Muhammad
Amin bin Umar bin Abdul Aziz Ad-Dimasyqi (Ibn Abidin)
b.
Mazhab Maliki
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas atau bernama lengkap
Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirul Ashbani di (Madinah, 93 Hijriyah). Dianut oleh sekitar
15% umat Muslim, kebanyakan di Afrika Utara dan Afrika Barat. Dasar imam maliki
dalam memutuskan suatu hukum adalah al-Qur’an, kemudian Sunnah Rasulullah SAW.
Bila tidak didapati dalam kedua sumber itu, maka maka beliau mengikuti ijmak
ulama ahli Madinah dan praktik penduduk Madinah. Jika Ijmak pun tidak
didapatkan barulah beliau berpindah kepada Qiyas. Bila Qiyas juga beliau tidak
dapatkan, maka beliau memutuskan dengan jalan “al-Mashalih al-Mursalah” atau
“istislah”,[9] yakni memelihara tujuan agama dengan jalan menolak kebinasaan
dan menuntut kabaikan, atau memelihara tujuan syarak dengan jalan menolak
sesuatu yang merusak makhluk. Ketentuan marsalih mursalah digunakan adalah
ketika semua dasar-dasar penetapan hukum di atas tidak ada yang menentangnya.
Tentang cara Iman Malik dalam mengambil hukum ini diungkapkan oleh
Qadhi Iyadh sebagai berikut:
“Malik senantiasa mengutamakan ayat-ayat
al-Quran dalam menyusun dalili-dalilnya yang jelas, ia memulai dengan nashnya,
kemudia zhahirnya kemudian mafhumnya. Setelah
itu barulah beralih kepada Hadits, dengan mengutamakan hadis Mutawatir, lalu
yang masyhur dan barulah yang ahad, dengan cara tertib seperti ketika beliau
mengambil hukum dari al-Quran, setalah al-Quran dan Hadits, barulah ia
berpindah kepada Ijmak. Jika dalam sumber-sumber pokok itu beliau tidak
menjumpai pemecahan, barulah beliau menempuh jalan Qiyas yang dijadikan
sandaran dalam menyimpulkan suatu hukum”.
Secara ringkas, dasar mazhab Maliki dalam menentukan suatu hukum
adalah:
1)
Al-Qur’an
2)
Sunnah
3)
Ijmak
ahli Madinah
4)
Qiyas
5)
Istislah
atau al-Mashalih al-Mursalah
c.
Mazhab Syafi’i
Mazhab ini didirikan oleh Imam Syafi’i.[10]
Mazhab fiqih Syafi’I merupakan perpaduan antara mazhab Hanafi dan mazhab
Maliki.[11] Ia terdiri dari dua qaul (pendapat), yaitu qaul qadim (pendapat
lama) di Irak dan qaul jadid (pendapat baru) di Mesir.[12] Mazhab Syafi’I
terkenal sebagai mazhab yang paling berhati-hati dalam menentukan hukum. Karena kehati-hatiannya tersebut, kadangkala pendapatnya kurang
terasa tegas.
Ciri mazhab Syafi’I dalam menyimpulkan hukum
adalah senantiasa bersandar pada al-Quran menurut artinya yang zhahir, kecuali
apabila ada petunjuk bahwa yang dimaksud bukan yang terkandung dalam makna
zhahir tersebut. Bila ada
petunjuk seperti itu barulah beliau mengambil sikap.
Sandaran kedua dari mazhab
Syafi’I adalah Sunnah. Menurutnya orang tidak mungkin berpindah dari sunnah
selama Sunnah masih ada. Mengenai Hadits Ahad, al-Syafi’I tidak mewajibkan
syarat “kemasyhuran” sebagaimana yang berlaku pada mazhab Hanafi. Tidak pula
mewajibkan persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Malik, yaitu harus ada
perbuatan yang memperkuatnya. Menurut al-Syafi’I hadits itu sendiri tanpa yang
lain sudah dianggap cukup. Baginya hadits Ahad tidak jadi soal untuk dijadikan
sandaran, selama yang meriwayatkannya dapat dipercaya, teliti, dan selama
hadits itu Muttasil (sanadnya bersambung) kepada Rasulullah. Jadi beliau tidak
mengharuskan hanya mengambil Hadits
Mutawatir saja.
Sandaran ketiga al-Syafi’I adalah Ijmak. Jika dengan Ijmak belum
juga mencukupi, beliau menuju kepada fatwa sahabat yang diketahui tidak ada
yang mempertentangkannya. Apabila fatwa sahabat yang disepakati tersebut tidak
didapatkan, maka beliau beralih kepada fatwa sahabat yang masih
diperselisihkan. Setelah itu barulah ia menempuh jalan Qiyas bila telah keadaan
memaksa. Syafi’I tidak menyetujui cara Istihsan yang dijadikan sandaran ulama
Irak, begitu pula ia tidak menyetujui jalan Mashalih Mursalah yang ditempuh
oleh Imam Malik.[13]
Bila Syafi’I tidak mendapatkan keputusan hukum
dari dasar-dasar di atas, maka beliu mengambil dengan jalan istidlal, mencari
alasan, bersandar atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang
terakhir ini disebut “syar’u man qablana”. Beliau
juga tidak sekali-kali mengambil buah pikiran manusia dalam menentukan hukum.
Secara ringkas dasar Mazhab Syafi’I dalam menentukan hukum adalah:
1)
Al-Quran
2)
Sunnah
3)
Ijmak
4)
Fatwa
sahabat yang disepakati
5)
Fatwa
sahabat yang diperselisihkan
6)
Qiyas
7)
Istidlal
Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia
d.
Mazhab Hanbali
Mazhab ini didirikan oleh Imam Ahmad bin
Hambal (lahir 164 H). ciri umum mazhab Hanbali adalah lebih bayak berpijak pada
dalil-dalil naqli dari pada ketentuan akal.[14] Ibn Qayyin menulis bahwa Imam
Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan mazhabnya berdasarkan pada lima pokok, yaitu:
1) Nash al-Quran dan Sunnah. Ia memberikan fatwa berdasarkan nash,
tampa menghiraukan siapa yang menentangnya, meskipun yang menentang itu sahabat
yang penting.
Imam Ahmad menyakini Hadits yang melarang seorang muslim mewarisi
orang kafir dan sebaliknya. Dia tidak menghiraukan pendapat Mu’awiyyah yang
memperbolehkan pewarisan tersebut.
2)
Fatwa
sahabat. Bila tidak ditemukan nash, maka Imam Ahmad bertolak pada fatwa
sahabat, sebatas ia tidak mengetahui fatwa tersebut ada yang menentangnya atau
masih dalam perselisihan.
3)
Fatwa
yang paling dekat dengan nash. Memilih pendapat sahabat yang yang mendekati
al-Qur’an dan Sunnah bila ada beberapa pendapat yang berlainan dari para
sahabat tentang suatu hukum. Kadang ia tidak memberikan fatwa jika tidak ada
yang menguatkan pendapat sahabat itu, dan kadang pula mengambil salah satu
pendapat yang masih diperselisihkan tersebut.
4)
Hadits
Mursal dan Dha’if yang dianggapnya lebih kuat dari Qiyas. Penggunaan hadits
mursal dan dha’if tersebut dilakukan selama tidak ada dalil lain, pendapat
sahabat, dan ijmak yang menentangnya. Namun, hadits dha’if yang beliau ambil
bukanlah Hadits yang batal, munkar, dan yang tertuduh dusta perawinya. Hadis
dha’if yang beliau ambil adalah hadits yang tidak sampai kepada derajat hasan
dan shahih.
5)
Qiyas.
Jika keempat pokok di atas tidak dapat
dilakukan, barulah ia berpindah kepada qiyas. Jadi qiyas dilakukan
karena keterpaksaan.
e.
Mazhab Zhahiri
Mazhab ini didirikan oleh Abu Sulaiman Dawud bin Ali bin Khalaf
al-Asfahani al-Zhahiri. Beliau dilahirkan d Kufah tahun 202 H. Mazhab ini
mempunyai ciri pengamalan teks literal dari al-Quran dan Sunnah tanpa dibarengi
penafsiran terhadapnya, kecuali ada dalil yang memerintahkan penggunaan
pengertian selain makna lahiriyah tersebut. Apabila tidak didapatkan nash,
mereka berpegang pada Ijmak. Mereka menolak jalan Qiyas secara tegas dengan
alasan bahwa dalam al-Qur’an dan hadits terdapat sandi-sandi dan sendi-sendi
yang mencukupi segala masalah.
Dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapati nash al-Qur’an dan
Sunnah, maka mereka mengambil Ijmak seluruh umat manusia. Jelas syarak ini
tidak mungkin terwujud. Dengan demikian, maka sebenarnya mazhab ini menolak
Ijmak. Sedangkan Qiyas mereka tolak. Akan tetapi, dalam praktiknya, mazhab ini juga menerima analogi (qiyas). Dalam
mazhab ini qiyas dikenal dengan istilah al-dalil.
2.
Mazhab-mazhab
Fiqh Syi’ah
Syi’ah sebagai kelompok pendukung dan pembela
Ali Ibn Abi Thalib ra. dan keturunannya, selain mengembangkan keturunan dalam
bidang teologi, mereka juga mengembangkan pemikirannya dalam bidang hukum.
Semua pengikut mazhab Syi’ah bersepakat bahwa imam-imam mereka itu
akan terus berganti setelah wafatnya Ali ra. Namun demikian, mereka berpendapat
mengenai siapa yang menjadi imam. Perbedaan pendirian ini mengakibatkan
munculnya mazhab-mazhab teologi dan hukum. Mazhab hukum yang ada dalam Syi’ah
adalah: mazhab al-Ja’fariyah atau al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyriyah, mazhab
al-Zaidiyah, dan mazhab al-Bahrah al-Isma’iliyah.
a.
Mazhab al-Ja’fariyah
Mazhab Syiah Ja’fariyah adalah sebuah kelompok
besar dari umat Islam pada masa sekarang ini, dan jumlah mereka diperkirakan ¼
jumlah umat Islam. Banyak dari
kelompok ini yang tinggal di Iran, Irak, Palestina, Afganistan, India, dan
tersebar secara luas ke negara-negara republik yang memisahkan diri dari Rusia,
juga ke negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, Amerika, dan
Benua Afrika serta Asia timur. Mereka memiliki masjid-masjid, Islamic
Center, pusat-pusat kegiatan budaya dan
sosial.
Mazhab ini berpendapat bahwa imam setelah Ja’far al-Shadiq adalah
Musa al-Kazim. Mazhab Syi’ah ini adalah menetapkan hukum mengambil sumber dari
al-qur’an dan hadits, serta ucapan para imam.
Mereka beranggapan bahwa imam mereka adalah ma’shum (Infallable).
Menurut mereka Ali telah menerima pemahaman lahiriyah dan bathiniyah maksud-maksud
syari’ah dari Rasulullah saw. Pemahaman ini terus disambungkan kepada
kahlifah-khalifah penerusnya. Sehingga perkataan imam bagi mereka merupakan
nash. Mereka tidak menerima ijtihad dan ra’yu. Mereka hanya mengambil
hukum-hukum itu dari imam yang ma’shum. Sebagai konsekuensinya mereka menolak
ijmak dan qiyas.[15]
Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa 12 imam itu ialah :
1)
Imam
Ali bin Abi Thalib Al-Mujtaba a.s.
2)
Imam
Hasan Al-Mujtaba a.s.
3)
Imam
Husain Sayyid Asy-Syuhada a.s. (keduanya adalah putra Imam Ali dan Sayidah
Fatimah a.s. dan cucunda Nabi saw.
4)
Imam
Ali Zainal Abidin As-Sajjad a.s.
5)
Imam
Muhammad bin Ali Al-Bagir a.s.
6)
Imam
Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq a.s.
7)
Imam
Musa bin Ja’far Al-Khadzim a.s.
8)
Imam
Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.
9)
Imam
Muhammad bin Ali Al-Jawad-At-Taqi a.s.
10)
Imam
Ali bin Muhammad Al-Hadi- An-Naqi) a.s.
11)
Imam
Hasan bin Ali Al-‘Askari a.s.
12)
Imam
Muhammad bin Hasan Al-Mahdi Al-Muntazhar a.s. yang dijanjikan dan dinantikan.
Imamah bagi mereka merupakan tiang dan rukun agama. Imamiyah selalu
menentang pendapat pribadi yang berdasarkan pikiran. Mereka berkata bahwa agama
tidak mungkin ditetapkan menurut pendapat akal. Mereka tidak menyetujui qiyas
dan mengecam orang yang menempuh jalan ini. Imam mazhab ini yang terkenal
adalah Abu Abdullah Ja’far al-Shadiq, dan Abu Ja’far Muhammad al-Baqir.
b.
Mazhab al-Zaidiyah
Syi’ah al-Zaidiyah menasbahkan dirinya kepada Zaid bin Ali bin
al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Imam-imam mereka yang terkenal adalah
al-Hasan bin Ali bin al-Hasan bin Zaid bin Umar bin Ali bin al-Husein, dan
al-Hasan bin Zaid bin Muhammad bin Isma’il bin al-Husein bin al-Hadi Yahya bin
al-Hasan.
Berbeda dengan mazhab-mazhab Syi’ah lainnya,
mazhab ini mengaku kekhalifahan Umar dan Abu Bakar, akan tetapi mereka
menganggap bahwa yang lebih utama untuk menjadikan khalifah adalah Ali ra. Seperti juga mazhab-mazhab imamiyah, mereka hanya bersandar pada
hadits yang diriwayatkan oleh golongan Syi’ah.
c.
Mazhab al-Isma’iliyah
Mazhab Ismailiyah adalah mazhab penganut
terbesar kedua dari mazhab Syiah setelah mazhab dua belas. Mazhab ini mengaku
Isma’il bin Ja’far al-Shadiq sebagai imam dan tidak mengakui Musa bin Ja’far
(Musa al-Kazim) sebagai imam.
Syi’ah Isma’iliyah membagi al-Qur’an menjadi dua arti, yakni arti
lahir dan arti bathin. Golongan ini oleh sebagian ulama Sunni telah dianggap
keluar dari Islam.
Sebagaimana golongan ahl al-Sunnah, pengikut
Syi’ah pun dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yakni kelompok yang
banyak berorientasi pada teks atau nash dan kelompok yang paling banyak menggunakan nalar. Kelompok yang pertama dikenal sebagai kelompok akhbari (Ahl
al-Hadits dalam istilah Sunni) dan kelompok kedua disebut Ushuli (Ahl al-Ra’yi
dalam istilah Sunni).
Kaum penganut Ismailiyah umumnya dapat ditemukan di India,
Pakistan, Suriah, Lebanon, Israel, Arab Saudi, Yaman, Tiongkok, Yordania,
Uzbekistan, Tajikistan, Afganistan, Afrika Timur, dan Afrika Selatan. Pada
beberapa tahun terakhir, sebagian di antara mereka juga beremigrasi ke Eropa,
Australia, Selandia Baru, dan Amerika Utara.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fahrurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Al-Khudary, Muhammad. 1981. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islamy,
Indonesia:Darul al-kutub al-Arabiyah.
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Hanafi
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Maliki
Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam
Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai
Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi%27i
http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/004/01.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismailiyah
[1] Ensiklopidi Islam (ed: Hafidz Dasuki; PT Ichtiar Baru van
Hoeve, Jakarta, 1994) – ‘Mazhab’.
[2] Huzaemah Tahido – Penghantar Perbandingan Mazhab (Logos Wacana
Ilmu; Jakarta, 1997), hlm. 71-72.
[3] Fahrurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, h. 106.
[4] Mazhab itu bukanlah “sekte” karena miski berbeda pendapat,
tokoh-tokoh mazhab itu mempunyai keyakinan yang kuat bahwa mereka sama-sama berpijak di atas satu pijakan, mengabdi pada
cita-cita yang sama, dan dengan hak yang sama pula.
[5] Fahrurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, h. 108-110.
[6] Sebagian pendapat mengatakan bahwa Khawarij merupakan kelompok
sempalan dari dua kelompok besar dalam mazhab fiqh islam yang eksis pada masa
sekarang,. Yakni Sunni dan Syi’i.
[7] Nama asli beliau adalah An-Nu man bin Isabit bin Zuthy. Lihat
al-Syekh Muhammad al-Khudary, tarikh al-tasyri’ al-islamy, (Indonesia:Darul
al-kutub al-Arabiyah, 1981), cet.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Hanafi
[9] Hukum yang diambil Imam Malik dengan dasar Istislah dan Qiyas
adalah permasalahan yang bersangkut paut dengan “mua’amalah” atau urusan
keduniaan, bukan urusan “ubudiyah” (peribadatan)
[10] Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Abu Abdillah Muhammad bin
Idris al-Syafi’i. beliau dilahirkan di Ghazzah tahun 150 Hijriyah.
[11] Al-Syafi’I adalah murid Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
Sehinnga sementara orang berpendapat bahwa beliau adalah masalah hukum
mengetahui kelemahan dan kekuatan mazhab Hanafi dan Maliki. Dengan
pengetahuaanya tersebut dia mengumpulkan segi-segi kebaikan dan meninggalkan
yang tidak disetujui dari kedua mazhab itu serta mengemukakan pendapat baru
yang belum terpecahkan pada keduanya. Lihat Ahmad SYalabi, op. cit., h. 154.
[12] Perbedaan dua qaul (pendapat) tersebut disebabkan karena
beliau menemukan fakta-fakta baru dalam penelitian, sehingga beliau merevisi
pendapat-pendapat lama yang pernah dianutnya. Namum yang lebih utama, perbedaan
itu disebabkan oleh perbedaan lingkungan serta kebutuhan penduduk Mesir dan
Irak. Perbedaan ini mengharuskan beliau berbuat untuk menyelaraskan
ketentuan-ketentuan hukum yang diterapkan di tempat baru, antara keadaan
–keadaan umum dan khusus,. Lihat ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, op. cit., h. 22-23.
[13] Mengenai Istihsan yang ditolak oleh Imam Syafi’I sebagaimana
yang ditulis dalam kitabnya Ibthal al-Istihsan bukanlah istihsan seperti yang
dimaksud oleh Abu Hanifah, sebab istihsan model itu beliau juga
mempergunakannya dengan nama lain, seperti Istishab dan Munasabah. Secara jelas
bisa dilihat dalam ungkapan al –Syafi’I sendiri: “Barangsiapa beristihsan
berarti dia membuat syara’. Barang siapa yang meingkarinya berarti dia berhukum
dengan hawa nafsunya, dengan tampa disertakan dalil. Lihat Al-Syekh Muhammad
Ali al-Sayid, op. cit,. h. 100-101.
[14] Kenyataan ini memang sewajarnya terjadi, karena Ahamad bin
Hanbal lebih banyak kecendrungannya sebagai ahli hadis dari pada ahli fiqih.
Kitab tulisannya yang terkenal adalah “al-Musnad”.
[15] Fiqh Syi’ah sangat dipengaruhi oleh politik. Misalnya mereka
tidak memperkenankan orang menjalankan shalat qashar bagi musafir kecuali kalau
dia menuju Makkah,
[1]
Ensiklopidi
Islam (ed: Hafidz Dasuki; PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994) – ‘Mazhab’.
[2] Huzaemah
Tahido – Penghantar Perbandingan Mazhab (Logos Wacana Ilmu; Jakarta, 1997),
hlm. 71-72.
[3] Fahrurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, h. 106.
[4]
Fahrurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, h. 108-110.